Tidak Cuma Saleh, Santri Juga Harus “Salih”:
Etika Lingkungan dalam Refleksi K.H. Habib Abdus Syakur
Pada tahun 2021, Indonesia tercatat sebagai negara produsen sampah plastik terbanyak keempat di dunia. Bahkan, menurut salah satu penelitian terkini yang dimuat di IOPscience, Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik yang dibuang ke laut terbesar ke-2 setelah Cina. Data-data tersebut makin menguatkan temuan Kementerian Kesehatan pada 2018 yang mencatat rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia akan kebersihan. Tentu saja ini bukanlah prestasi yang patut dibanggakan, apalagi Indonesia dikenal sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Fakta ini membuat kita patut bertanya, apakah Islam tidak mengajarkan soal menjaga lingkungan dan alam? Ataukah kesadaran umat beragamanya yang kurang? Lalu langkah kongkrit apa yang bisa dilakukan?
Berbagai pertanyaan itu yang menjadi pemantik obrolan saya dengan K.H. Habib Abdus Syakur, pimpinan Pondok Pesantren Al-Imdad. Kiai Habib Syakur, begitu dia akrab dipanggil, menginisiasi pondok pesantren berwawasan lingkungan di Bantul, Yogyakarta. Pondok pesantren ini berhasil mengelola sampah mereka secara mandiri, sampah organik diubah menjadi pupuk sementara sampah nonorganik dilebur atau dikreasikan menjadi kerajinan bernilai ekonomi. Pada 2020 silam, Kiai Habib Syakur mendapat penghargaan Kalpataru sebagai Pembina Lingkungan Hidup dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menjadi Ekologis, Menjadi Salih
Pesantren Al-Imdad memiliki visi Santri Salih. Frase “Santri Salih” ini merupakan singkatan dari, “Santun, Agamis, Nasionalis, Terampil, Ramah, Inovatif dan SAdar Lingkungan Hidup”. Visi ini lahir dari keprihatinan permasalahan sampah yang jamak ditemukan di pesantren. Menurut Kiai Syakur, santri harusnya menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan sampah bukan sekadar menjadi sumber penghasil sampah. Kesalehan pribadi harus ditunjang dengan kesalihan secara sosial, menjaga lingkungan adalah salah satunya. Karenanya, santri Al-Imdad dibekali keahlian secara etis dan praktik dalam mengelola sampah.
Tanggung jawab sebagai Santri Salih ini tidak otomatis terbentuk ketika menjadi santri di Al-Imdad. Pesantren menerapkan berbagai peraturan untuk membiasakan para santri dengan perilaku sadar lingkungan. Di antaranya, memilah dan membuang sampah pada tempat yang telah disediakan, dan melaksanakan piket sesuai dengan jadwal. Jika aturan tersebut dilanggar, santri akan mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan pesantren. Pembentukan karakter tidak hanya dilakukan melalui pembiasaan, tetapi juga pengajaran etika lingkungan dalam setiap pengajaran di Al-Imdad. Kiai Habib Syakur menekankan, lingkungan adalah bagian dari ciptaan Tuhan. Allah sebagai pencipta alam memberikan mandat kepada manusia untuk menjaga ciptaan-Nya. Etika ini senantiasa ditanamkan kepada santri Al-Imdad di berbagai kesempatan. Etika ini juga yang menjiwai berbagai aktivitas pengelolaan sampah di Al-Imdad. Dengan kata lain, menjadi saleh harus juga menjadi “salih”.
Prinsip Ekologi Islam di Pesantren Al-Imdad
Prinsip ekologi Islam merupakan sebuah pendekatan untuk menafsir sumber-sumber hukum dalam Islam dalam upaya untuk mengelola lingkungan. Prinsip ekologi Islam ini dapat menjadi dasar atau landasan etis-teologis bagi muslim, secara lahiriah dan batiniah, dalam setiap aktivitasnya. Setidaknya ada empat prinsip ekologi Islam yang diajarkan di Al-Imdad, yaitu tauhid, khalifah, fasad, dan mizan. Ada dua prinsip ekologis yang menonjol di Al-Imdad, yaitu khalifah dan mizan. Secara harfiah, khalifah dapat diartikan sebagai amanat, wakil, dan pengganti Nabi Muhammad. Sedangkan dalam bahasa Arab, al-Khalifah merupakan gelar yang diberikan kepada manusia di muka bumi dan gelar pengganti pemimpin Islam setelah Nabi Muhammad. Istilah ini kemudian ditafsirkan dalam konteks yang lebih luas. Quraish Shihab, misalnya, menjelaskan bahwa khalifah merupakan makhluk yang diberi amanat oleh Allah sekaligus bagian tak terpisahkan dari makhluk yang ada di alam. Dengan kata lain, khalifah memiliki keterkaitan erat dengan alam (Shihab, 2007:174). Sementara itu, Mangunjaya menyatakan bahwa khalifah merupakan amanat Tuhan bagi manusia dalam menjaga hubungan manusia dengan alam di muka bumi.
Di Pesantren Al-Imdad, konteks khalifah ini dihadirkan melalui upaya pesantren untuk menjadi penggerak atau inisiator bagi perubahan masyarakat yang lebih baik. Bagi Kiai Syakur, para santri merupakan harapan bagi generasi di masa depan untuk melakukan perubahan sosial masyarakat. Inisiasi ini, misalnya, ditunjukkan melalui upaya penanaman 5.000 tanaman di lereng Merapi pascaerupsi 2010. Kiai Syakur mengajak para santri di Al-Imdad dan masyarakat sekitar untuk menginisiasi gerakan penghijauan di Gunung Merapi. Tak hanya di Merapi, Pesantren Al-Imdad juga memberikan bibit tanaman papaya kepada masyarakat sekitar untuk ditanam. Meski banyak dari bibit tanaman tersebut yang gagal tumbuh dengan baik, tetapi usaha untuk bersama memulihkan bumi terus dilakukan.
Contoh lain lagi ialah keberadaan Pasukan Semut Al-Imdad. Pasukan Semut ini terdiri dari para santri Al-Imdad yang rutin mengambil sampah dari masyarakat sekaligus membersihkan sampah di acara-acara besar Islam, seperti Hari Santri, maulid, dan hari lahir pesantren. Dalam hari-hari tertentu, pesantren Al-Imdad juga mengadakan Roan Akbar. Para santri ini turun ke masyarakat untuk kerja bakti seperti membersihkan selokan dan memotong rumput di setiap rumah warga. Kesemuanya itu, menurut Kiai Syakur, merupakan salah satu bentuk upaya menjadi khalifah di bumi.
Kedua, konsep mizan atau keseimbangan. Dalam konteks ekologi islam, keseimbangan merupakan salah satu konsep penting yang melandasi relasi antara manusia dan alam. Relasi tersebut juga menjadi bagian dari spiritualitas manusia yang berlangsung secara vertikal dan horizontal sekaligus. Keseimbangan kosmis ini diwujudkan melalui pemenuhan tanggung jawab manusia kepada Tuhan dan alam. Umat manusia menyembah Sang Pencipta dengan cara menaati aturan-aturan-Nya dan bertanggung jawab terhadap alam, salah satu caranya dengan menjaga kehidupan dan menghindari penyalahgunaan atau pemborosan (Arnez, 2014:80). Dalam Islam, domain ini sering disebut sebagai konsep rahmatan lil’alamin atau ‘rahmat bagi seluruh alam’.
Penekanan konsep mizan ini hadir di Pesantren Al-Imdad melalui kepedulian pesantren terhadap isu sampah. Sampah, sebagai hasil dari aktivitas manusia, memang tak terelakkan. Yang bisa dilakukan ialah mengurangi produksi sampah dan sebisa mungkin memulihkan ekosistem. Dalam konteks ini, Kiai Syakur menekankan relasi antara keberadaan sampah dan pohon. Sampah yang menumpuk di sungai atau perairan akan menimbulkan banjir. Untuk mengurangi dampak ini, di samping mengurangi produksi sampah, kita juga harus menanam pohon sebagai tempat resapan air. Dalam menanam pohon pun ada etikanya. Menanam bibit hasil mutasi genetik tidak dianjurkan karena memaksa tanaman untuk bereproduksi sebanyak-banyaknya yang tentu saja bertentangan dengan prinsip mizan. Ia menambahkan, bencana akibat ketidakseimbangan ini memang tidak langsung kita rasakan sekarang. Akan tetapi, 20 tahun ke depan manusia akan merasakan dampak negatifnya secara masif jika hal ini dibiarkan.
Sumber: www.ugm.ac.id